Assalamualaikum

Ucapkan salam sebelum masuk ^_^

Nikah Muda? Siapa Takut

            Hatiku beredebar saat melihat papan pengumuman hasil kerja kerasku selama tiga tahun ini. Aku melihat satu persatu nama yang ada di sana, aku cukup terkejut melihat salah satu teman sekelasku tidak dapat lulus. Sedih, pasti itu yang ia rasakan. Kebetulan hari ini hari terakhir melihat pengumuman. Hanya tinggal beberapa orang saja yang baru melihat, termasuk aku.
            “Akhirnya, ketemu juga namaku.” Ujarku dengan senyum mengembang di bibirku. Aku lihat nilai-nilaiku dan ternyata aku lulus, walaupun bukan sebagai nilai yang terbaik, tapi aku sudah cukup bahagia. Rona merah di pipiku tak dapat dihindari, aku senang sekali. Aku menangis, yah aku menangis karena bahagianya diriku. Tak ada penyesalan dalam hatiku, aku bisa menjadi seperti harapan orang tuaku. Tapi hanya satu lagi sekarang yang masih belum bisa aku berikan untuk mereka, kerja.
            “Gimana, Syah? Lulus, kan?” tanya seorang pria yang selama ini menemaniku, yah dia pacarku. Dia duduk di atas motor bebeknya menungguku yang tadi melihat pengumuman. Begitu setianya dia padaku. Padahal dia bisa saja mencari yang lebih dariku. Lihatlah dirinya? Dia sudah dewasa, sudah matang, dan siap menikah. Sedangkan aku? Baru saja menamatkan sekolahku di tingkat SMA.
            “Alhamdulillah, lulus Mas.” Jawabku sembari tersenyum, Mas Fahri, begitulah aku memanggilnya. Dia ikut tersenyum mendengar kabar baik dariku.
            “Alhamdulillah, Mas juga ikut senang mendengarnya,” ujarnya sambil memperbaiki duduknya di atas motor bebeknya. Aku hanya tersenyum, lalu menunduk. Untuk menjaga amanah Rasul ‘Tundukkanlah tatapanmu’, walaupun sudah tiga tahun aku berpacaran dengannya, aku belum pernah melakukan hal yang tidak senonoh dengannya. Dia juga sangat menghormati wanita. Karena dia berprinsip, ‘melukai wanita, sama saja seperti melukai Ibunya’. Subhanallah, jarang ada pria seperti ini. Jujur, aku sangat mencintainya, tapi cintaku padanya tak melebihi cintaku padaMu, ya Rab.
            “Yuk, pulang.” Ajaknya, aku pun menaiki motornya. Aku hanya berpegangan pada besi di jok belakang motornya. Aku sangat menjaga kesucianku.
            “Jadi, mau lanjut atau…” Ucapannya membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, apa dia mau melamarku? Ah, tidak mungkin.
            “Ehem, maksud Mas Fahri apa?” selaku sebelum dia benar-benar mengutarakan maksudnya.
            “Oh, tidak apa-apa. Jadi mau lanjut kemana?” tanyanya, mengerti kalau aku sedang tak ingin membicarakan hal itu, dia pun langsung mengganti topiknya.
            “Insya Allah, mau kuliah dulu, lah Mas.” Jawabku mantab. Dia hanya diam, mungkin dia sudah lelah menungguku. Entahlah…
            Sepanjang perjalanan setelah pembicaraan tadi, dia tak ada bicara padaku lagi. Mungkin dia masih marah akan jawabanku tadi.
            “Mas, masih marah padaku?” tanyaku setelah berhenti di depan pekarangan rumahku. Sambil membenarkan jilbabku yang tadi terkena angin.
            ‘Tidak, aku tidak marah padamu, hanya kecewa dengan jawabanmu tadi.” Ujarnya. Dia memang sangat dewasa, sosok yang memang aku idamkan. Tapi, jika melanjut ke hubungan lebih lanjut, jujur aku belum siap lahir bathin. Aku tahu dia sudah matang untuk itu dengan umurnya yang sekarang jalan 26 tahun. Tapi aku? Aku baru saja lulus sekolah, masih terlalu dini untuk itu. Aku masih ingin menjelajahi dunia ini. Aku masih ingin menggapai mimpiku.
            “Bukankah kita sering membicarakan ini sebelumnya?” tanyanya padaku, aku hanya diam. Memang, sudah sering sekali terjadi pertengkaran kecil seperti ini diantara kami dan masalah yang kami ributkan hanya itu-itu saja. Aku sampai merasa bosan. Kenapa dia tak mau mengerti diriku. Aku kecewa, tapi aku juga tidak menyalahkan dirinya. Karena memang dia sendiri sudah cukup matang untuk itu. Aku tertunduk, memainkan kakiku diatas tanah yang kupijaki.
            “Kamu cuma bisa diam, diam dan diam saat membahas tentang itu.” Lanjutnya lagi, membuat aku semakin merasa bersalah.
            “Mas Fahri, harusnya mengerti aku,” ujarku lirih masih tetap menunduk, tak berani aku menatapnya, yang tengah marah saat ini.
            “Kurang mengerti apa aku sama kamu,” ucapan aku yang menyebutkan dirinya membuat aku semakin tahu bahwa saat ini dia benar-benar marah. Tak seperti biasanya dia memanggil dirinya dengan sebutan ‘aku’. Mataku perih, air mata berkubik-kubik memaksa keluar dari pelupuk mataku saat ini.
            “Mas, sangat emosi. Lebih baik kita sudahi pembicaraan ini. Assalamualaikum.” Pamitku padanya. Dia pun tak menjawab salamku. Entah dia hanya menjawab dalam hati, aku pun tak tahu.
***
            Seminggu setelah kelulusanku dan kejadian itu. Mas Fahri benar-benar marah, buktinya dia tidak ada menghubungiku semenjak kejadian itu. Aku sedih. Kenapa harus berakhir seperti ini? Aku mencoba menelfonnya, tapi apa yang kudapat? Hanyalah suara yang tedengar dingin di telingaku. Dia sangat dingin padaku.
            “Syah, Nak Fahri kok nda pernah main kesini lagi?” tanya Ibuku tiba-tiba saat kami sekeluarga tengah menonton televisi di ruang keluarga. Aku tak menjawab pertanyaan Ibuku tadi.
            “Lagi ada masalah?” tanya Ayahku, kali ini. Kembali aku diam, apakah aku harus menceritakan ini pada mereka?
            “Kok diam saja ditanyain?” kembali Ibuku bertanya, seakan memaksaku untuk membagi sedikit bebanku untuk mereka.
            Ragu-ragu aku berkata, “Mas Fahri mengajak Isyah menikah.” Dengan menunduk aku berkata seperti itu, takut kedua orang tuaku marah.
            “Menikah?” kaget mereka. Aku sudah menduga pasti jadinya seperti ini.
            “Kamu mau?” tanya Ayah.
            “Isyah, takut Ayah sama Ibu nda setuju.” Jawabku jujur. Mereka berdua saling berpandangan lalu…
            “Hahahhahahaha,” mereka berdua tertawa. Apa yang lucu? Apa yang tengah mereka tertawakan? Aneh.
            “Kamu bilang sama Nak Fahri, besok pagi datang ke rumah.” Pesan Ayah sebelum masuk ke kamarnya. Aku hanya mengangguk bingung dengan kelakuan Ayah dan Ibuku, sedangkan Ibuku. Dia hanya tersenyum misterius denganku, lalu ikut mengekor Ayah ke kamar.
            Aku pun juga masuk ke kamar, sesampainya aku di kamar, aku langsung menyampaikan amanah Ayah. Aku mengirim pesan singkat untuk Mas Fahri. Lalu aku pun tertidur saat menunggu balasan darinya yang tak kunjung datang.
***
            Pagi ini begitu cerah, secerah hatiku. Hari ini aku akan mendaftar ke Universitas yang aku inginkan, untuk melanjutkan cita-citaku menjadi seorang ahli computer. Aku pun bersiap-siap kemudian pergi ke bersama kedua temanku yang juga akan mendaftar ke sana. Sebelum pergi aku sempat berpapasan dengan Mas Fahri yang ternyata datang sesuai dengan amanah yang aku sampaikan padanya kemarin.
            “Assalamualaikum,” pamitku saat melihat Mas Fahri berada di pekarangan rumahku turun dari motornya. Dia masih terlihat dingin padaku, aku sedih melihantnya seperti itu. Aku pun hanya bisa pergi dari situ. Dia masuk ke dalam rumahku. Entah apa yang akan dibicarakan dia dengan kedua orang tuaku yang memang sudah menunggu kedatangannya.
***
            Betapa terkejutnya saat aku pulang Mas Fahri masih ada disana, di rumahku. Dia kelihatannya tengah tersenyum kepadaku. Kenapa dia? Aku melangkahkan kakiku masuk sambil mengucapkan salam.
            “Assalamualaikum”
            “Waalaikumsalam,” jawabnya. Aku merasa aneh dengannya, duduk di depan rumah yang memang disediakan kursi untuk tamu.
            “Mas Fahri, kenapa?”
            “Orang tuamu mengijinkan aku meminangmu, jadi kamu mau?” ujarnya, membuat aku gugup. Aku terdiam.
            “Tenang saja, setelah kita menikah, kamu masih tetap akan melanjutkan kuliahmu sampai tamat. Bagaimana? Kita juga akan menunda buah hati dulu, selagi kamu masih kuliah. Kamu mau, kan?” bujuknya, membuat aku terharu. Aku menunduk, memohon petunjuk pada Allah.
            Cukup lama aku terdiam, begitu juga dia. Lalu aku menjawab dengan kemantapan hatiku saat ini.
            “Insya Allah, Isyah siap lahir bathin, Mas.” Ucapku akhirnya, membuat Mas Fahri mengucapk syukur.
            “Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Telah Engkau bukakan pintu hati wanitaku ini. Amin,” puji syukurnya kepada Allah. Aku hanya tersenyum. Tak terasa aku menangis bahagia. Nikah muda? Siapa takut…
***
Mohon koreksiannya dong... :) Add me at facebook 'Nurjannah Jaimbum' and follow me at tweet @JannahSiJaim kunjungi juga blog ini :) makasih all :*

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2011 Bidadari Bergaun Ungu. Designed by MakeQuick, blogger theme by Blog and Web | Posts RSS | Comments RSS