Assalamualaikum

Ucapkan salam sebelum masuk ^_^

Bukan Kamu Tapi Dia



Berulang kali kau menyakiti
Berulang kali kau khianati

= = = = = =

            “Jadi …?” tanyamu padanya, ada nada getir terasa di bibirmu. Dia yang kau tanya hanya menunduk, dan sepertinya dia tak tau harus menjawab apa.
            “Please, answer me …” Mohonmu padanya tapi lawan bicaramu masih tetap menunduk seperti tadi. Kau pun akhirnya menyerah dan memutuskan untuk pergi dari tempat dimana kau memergokinya sedang berjalan dengan seorang pria lain. Pria yang mungkin membuatnya lebih bahagia daripada saat bersamamu. Sungguh ironis.
            “Alvin …” Panggilnya lirih saat kau mulai menjauhinya. Sepertinya dia mau menjelaskan sesuatu padamu. Entahlah. Kau menghentikan langkahmu, berbalik dan melihat wanita yang sangat kau cintai. Hey, dia berlari ke arahmu.
            “Maafin, aku …” Ucapnya lirih, sangat lirih. Dia menangis di pelukanmu. Kau tak membalas pelukannya. Pelukan wanita idamanmu. Kenapa? Ada apa dengan dirimu, Alvin? Apa kau tak mencintainya lagi?
            “Udahlah, all is over.” Ujarmu, ada nada tak rela terdengar dari nada bicaramu. Kau tak rela tapi kau mengatakan itu. Bodoh. Kau melepas pelukannya lalu memegang kedua tangannya, erat.
            “Maaf, aku gak bisa jadi terbaik buat kamu,” kau tampak seperti orang bodoh dengan mengatakan kalimat barusan. Wanitamu hanya tersenyum kecut mendengar rentetan kata-katamu tadi. Kau melepaskan genggamanmu dari tangannya, lalu berbalik dan pergi. Pergi jauh, mungkin juga pergi dari hidupnya.

* * * * *
Sakit ini coba pahami
Kupunya hati bukan tuk disakiti

= = = = = =

            “Kamu, kuat Alvin …” Ya, semenjak saat itu kau hanya mengurung diri di dalam kamarmu. Hanya temanmulah yang menyemangati dirimu. Terlihat konyol memang dirimu. Pria tapi cengeng. Sungguh ironis. Kau hanya tersenyum miris saat mendengar temanmu sedang menyemangati dirimu.
            “Sakit, itu yang aku rasakan, Yo. Mungkin kau gak pernah ngerasaan hal konyol begini. Tapi jujur gue cinta banget sama dia. Dia yang pertama dan aku juga harap dia yang terakhir. Tapi …” Kau selalu saja bicara seperti itu, seperti tak ada saja wanita lain di dunia. Gila.
            “Ya, tapi kau juga gak harus seperti ini, Vin.” Temanmu, Mario. Selalu saja mengatakan hal itu, tapi sepertinya kau tak mengubris perkataannya. Kasihan.
            “Aku punya hati, Yo. Dan hati aku bukan untuk disakiti. Kenapa dia tega sama aku.” Kamu selalu saja mengelak kata-kata Mario dengan alasan kamu punya hati dan hati kamu bukan untuk disakiti. Hey, setiap orang memang punya hati. Mario
benar-benar kehabisan kata-kata saat kamu mengatakan kalimat itu. Akhirnya dia menyerah. Keluar dari kamar berwarna kesanganmu, itulah yang ia lakukan saat sudah seperti ini.

* * * * *
Kuakui sungguh beratnya meninggalkanmu yang dulu pernah ada
Namun harus aku lakukan karena ku tahu ini yang terbaik

= = = = = =

            “Kau …” Ucapmu lirih saat bertemu dengannya lagi. Sudah hampir sebulan sejak kejadian itu kau dan dia tak pernah bertemu, baru hari ini di mall yang biasanya kau kunjungi bersama dengannya tapi sekarang kau sendiri. Lihat, wanitamu tidak sendiri, dia bersama dengan pria idamannya.
            “Alvin,” dia terkejut melihatmu sekarang sedang berdiri di depannya dan juga di depan pria yang tengah bergandengan dengannya. Tapi, dia melepas gandengannya dengan pria itu, mungkin karena dirimu. Entahlah.
            “Dia siapa, Vi?” tanya pria yang sedang bersama wanitamu itu, tapi dulu sekarang dia sudah bukan wanitamu lagi. Hey, ingat itu.
            “Umm, dia …” Mungkin dia sedang kebingungan mau menjawab apa. Kau pun mengambil alih pertanyaan itu,
            “Alvin, teman kuliahnya, Via.” Selamu dan langsung menjabat tangan pria itu. Pria yang mungkin saja telah merusak hubunganmu dengannya. Kau pun tak mengerti.
            “Gabriel,” balas pria itu sambil membalas jabatanmu. Tersenyum dengan tulus. Tapi, kau sepertinya muak melihat pemandangan ini. Kau pun memutuskan untuk pergi dari sini.
            “Oh, aku duluan, yah.” Pamitmu segera pergi meninggalkan tempat itu. Langkahmu pun terlihat sangat begitu terburu-buru. Kau sedang terbakar api cemburu, ya kan?
            “Aku gak bisa secepat itu ngelupain kenangan kita dulu, Vi. Tapi … Lihat dirimu, kau begitu cepat melupakan kenangan kita. Begitu cepat melupakan, aku …” Lagi-lagi rasa tak rela dirimu pun muncul. Menyeruak keluar. Kau pun tak dapat menahannya. Kau menangis. Hey, seorang pria menangis di tepi danau yang sunyi. Sungguh melankolis, seperti wanita saja dirimu. Tapi, sepertinya kau tak menghiraukan kata-kata kalau pria itu pantang menangis. Cukup lama kamu menangisi akhir hubunganmu dengannya. Sungguh kau ini sangat mellow.
            “Memang berat, tapi aku harus melupakanmu, karena kau … Sudah punya pengganti diriku, yang mungkin lebih baik dari diriku.” Kalimatmu kali ini mungkin terdengar pasrah tapi memang inilah sebaiknya yang kau ucapkan sebulan yang lalu. Walau berat kau harus yakin, Alvin.

* * * * *
Kuharus pergi meninggalkan kamu
Yang telah hancurkan aku sakitnya sakitnya oh sakitnya

= = = = =

            Sudah 2 tahun sejak kejadian itu, tapi kau masih saja sendiri. Apa kau memang tak bisa melupakan dia? Parah sekali dirimu, kalau memang begitu adanya.
            “Hei, Bro. Ngelamun aja!” seru temanmu yang lain, mengejutkan dirimu yang mungkin tengah terbuai akan kenangan masa lalumu.
            “Eh, kau. Aku gak ngelamum, kok. Cuma lagi mikir aja.” Jawabmu sepertinya hanya alasan saja.
            “Mikirin apaan?” tanya temanmu ingin tahu, dia pun duduk di sampingmu.
            “Mau ngelamar kerja dimana habis kuliah ini.” Kau mengucapkan itu sambil menerawang entah kemana.
            “Yaelah, kau ribet banget. Orang tua kau kan punya banyak usaha. Tinggal pilih saja kali.” Respon temanmu hanya seperti itu. Ya, kau memang anak dari seorang pengusaha kaya, jadi sudah sepantasnya temanmu mengatakan hal itu. Tapi kelihatannya dirimu tak suka akan hal itu.
            “Itu, kan punya orang tua aku. Aku mau usaha sendiri, Ray.” Ujarmu membuat teman yang kau sebut Ray tertawa lebar.
            “Hahahahaha, kau ini lucu … Sudah ada kok malah dibuat susah,” komentar Ray. Kau hanya mendengus kesal. Kau sangat tak suka jika disangkutpautkan dengan kesuksesan orang tuamu itu.
            “Sudahlah, kau tak akan mengerti maksudku.” Ucapmu sedikit kesal. Ray melihat perubahan air wajahmu.
            “Hei, Bro. Maaf …” Nadanya sangat selengean tapi di sana terselip nada menyesal. Kau pun tak ambil pusing akan hal tadi.
            “Yaudahlah, aku duluan yah.” Pamitmu lalu pegi dari cafeteria yang sejak tadi kau jadikan tempat tongkronganmu.
            “Kenapa aku harus melihat mereka lagi.” Kau kesal saat di parkiran melihat wanitamu -dulu- sedang berduaan dengan pria idamannya, Gabriel. Sangat miris hatimu tiba-tiba teringat akan masa pahitmu dulu. Kau pun secepat kilat mengambil motormu lalu pergi meninggalkan areal kampus dengan kecepatan yang cukup tinggi.
            “Alvin …” Lirih wanitamu saat melihat motormu tepat melewati dirinya. Sepertinya dia merasa sangat bersalah atas kejadian dulu.

* * * * *
           
Hari kelulusan pun tiba. Kau lulus dengan nilai yang cukup baik, setelah acara wisuda sarjanamu selesai, kau pun memutuskan untuk meninggalkan kota ini. Meninggalkan wanitamu, lebih tepatnya.
            “Jadi kau bakal menetap di Jogja?” tanya Mario saat ini di rumahmu. Kau tampak sedang sibuk berpacking ria.
            “Iya, aku bakal menetap disana. Jaga diri kau baik-baik, yah Yo.” Ujarmu masih tetap sibuk merapikan barang-barangmu.
            “Kapan kau berangkat?”
            “Besok, jam 10 pagi.” Mario hanya mengangguk kecil.
            “Aku bakal kangen sama kau, Vin.” Ucap Mario lirih, tampak tak rela melepasmu. Kau pun mendekatinya dan memeluk sobatmu itu.
            “Jangan kayak cewe gitulah.” Ledekmu saat memeluknya. Lalu melepasnya dan kalian tertawa bersama, mungkin untuk yang terakhir berada di Jakarta.
            “Hhahahahahhaa …”

* * * * *
Ku akui sungguh beratnya meninggalkanmu yang dulu pernah ada
Namun harus aku lakukan karena ku tahu ini yang terbaik
Kuharus pergi meninggalkan kamu
Yang telah hancurkan aku sakitnya sakitnya oh sakitnya
Cintaku lebih besar dari cintanya
Mestinya kau sadar itu bukan dia bukan dia tapi aku

= = = = = 

            “Kasih ini buat Sivia, yah.” Mario hanya mengacungkan jempolnya. Lalu disimpannya surat beramplop ungu itu ke dalam saku celana jeansnya. Kau hanya tersenyum. Sepertinya sekarang kau akan benar-benar pergi dari dirinya.
            “Aku berangkat, yah Yo.” Pamitmu. Kau mendekati Mama dan Papamu.
            “Ma, Pa. Alvin berangkat, yah.” Pamitmu seraya mencium kedua tangan orang tuamu.
            “Hati-hati yah sayang. Jangan lupa makan, pokoknya jaga kesehatan.” Perintah Mamamu dengan sangat perhatian. Kau tersenyum dan mengacungkan kedua ibu jarimu.
            “Dah …” Kau pun akhirnya berangkat ke Jogja. Tak cukup jauh memang tapi, setidaknya kemungkinan untuk kau berjumpa dengannya sangat kecil. Kalau dia tidak menyusulmu ke sana.

* * * * *
           
“Ini, dari Alvin.” Ujar Mario mengacungkan surat kemarin yang dititipkan Alvin untuk wanitanya, dulu dan sampai kapanpun.
            “Alvin,” gumam wanita itu. Dia pun mengambil alih surat itu dari tangan Mario sekarang berada di tangannya.
            ‘Thank’s …” Mario hanya tersenyum lalu pergi. Dia memilih untuk masuk ke dalam kamarnya dan membaca isi daripada suratmu. Perlahan dia membuka surat itu dari amplopnya, lalu membuka lipatannya dan siap membacanya.
           
            Sivia … Dulu kau menjadi wanitaku. Wanita yang sangat aku cintai. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, kau bukan menjadi wanitaku lagi. Bagimu mungkin aku sudah tak ada arti apapun. Tapi kau … Kau sungguh sangat berarti untuk diriku. Kau tahu? 2 tahun sudah aku mencoba melupakanmu, tap apa hasilnya? Nihil … Aku tak udah melupakanmu begitu saja.
            Sivia … Mungkin memang sekarang kau bukanlah menjadi wanitaku lagi, tapi aku akan tetap menganggap kau, adalah wanitaku. Dulu, nanti dan selamanya. Kau akan tetap menjadi wanitaku. Wanita terindah untukku. Aku sudah pergi dari kota ini. Mungkin ini yang lebih baik. Walau satu harus kau tahu, cintaku lebih besar dari cintanya. Bukan dia tapi aku. Aku yang lebih besar mencintaimu, my lady.

                                                                                                Salam cintaku untukmu
                                                                                                Alvin Jonathan

            Dia menangis saat membaca suratmu. Isi yang singkat namun begitu menyentuh baginya. Hey, kau berhasil membuatnya menangis, Vin. Kau hebat.
            “Kamu juga akan tetap menjadi priaku, Alvin.” Dia sepertinya masih sangat menyayangimu. Seharusnya kau tahu itu Alvin. Tapi, kau sudah memilih. Memilih untuk meninggalkannya bersama dengan kebahagian yang telah ia pilih. Dan kebahagiannya itu bukan darimu melainkan darinya. Bukan kamu tapi dia, Gabriel. Sungguh malang nasibmu, Vin.

* * * TAMAT * * *

Created by       : Nurjannah Jaimbum
Finish               : Sabtu, 7 Mei 2011. 6:07 PM
Inspirasi            : Lagu Judika “Bukan Dia Tapi Aku”

Ini cerita garing banget, hahahhaha gak berasa feelnya. Semoga aja ada yang sudi mau baca :) Tengkyu … Kalau bisa kasih keripik (kritik, red) buat saya.




2 komentar:

warsito mengatakan...

salam persahabatan ane permisi follow


ditunggu ya follow baliknya

Nurjannah Jaimbum mengatakan...

iya makasih juga ini mau follow balik ;D

Posting Komentar

Copyright © 2011 Bidadari Bergaun Ungu. Designed by MakeQuick, blogger theme by Blog and Web | Posts RSS | Comments RSS